BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Konsep bahwa Islam sebagai agama wahyu yang mempunyai
doktrin-doktrin ajaran tertentu yang harus diimani, juga tidak melepaskan
perhatiannya terhadap kondisi masyarakat tertentu. Kearifan lokal (hukum) Islam
tersebut ditunjukkan dengan beberapa ketentuan hukum dalam al-Qur’an
yang merupakan pelestarian terhadap tradisi masyarakat pra-Islam.
Islam sangat memperhatikan tradisi dan konvensi
masyarakat untuk dijadikan sumber bagi jurisprudensi hukum Islam dengan
penyempurnaan dan batasan-batasan tertentu. Prinsip demikian terus dijalankan oleh Nabi Muhammad saw.
Kebijakan-kebijakan beliau yang berkaitan dengan hukum yang tertuang dalam
sunnahnya banyak mencerminkan kearifan beliau terhadap tradisi-tradisi para
sahabat atau masyarakat.
Manusia memiliki suatu hal yang esensial yang tidak
terdaapat pada hewan, yakni ruh atau jiwa. Ruh dan jiwa dapat dimannifestasikan
dengan cara berfikir dan merasa. Hewan memang diyakini mempunyai otak tetapi
tidak dimanfaatkan untuk berfikir juga mempunyai organ hati tapi tidak membentuk
rasa rohani, hewan berbuat sesuatu hanya mengikuti insting hewaniahnya.
Dengan demikian, jika manusia dipandang dari sisi
jasmaniahnya, maka kita akan memasuki lapangan antropologi fisik. Tapi bila
manusia dilihat dari aspek rohaniahnya, kita akan menulusuri medan antropologi
kebudayaan. Mengapa dikatakan antropologi kebudayaan? Sebab, cara berfikir atau
cara merasa akan membentuk cara hidup. Cara hidup bisa berwujud pada cara
bertindak, cara bergaul, cara berekonomi, cara berorganisasi dan seterusnya.
Dari hal-hal tersebutlah, kiranya kita perlu
mengetahui perkembangan-perkembangan sumber hukum islam sebagai pijakan bagi umat muslim dalam mengamalkan
salah satu metode Ushl Fiqh untuk meng-Istimbath setiap
permasalahan dalam kehidupan ini.
B. RUMUSAN
MASALAH
Dalam makalah ini penyusun berharap
mampu menjawab beberapa masalah fundamental dari pokok bahasan Urf dan Istishab
sebagai berikut :
1.
Penjelasan tentang
definisi ‘urf maupun adat dari berbagai sudut pandang.
2.
Mekanisme penyerapan
‘urf menjadi bagian dari sumber hukum islam.
3.
Kedudukan ‘urf sebagai
bagian dari sumber hukum islam (kehujjahan ‘urf).
4.
Pembagian / klasifikasi
‘urf
5.
Kaidah-kaidah yang
terbentuk dari ‘urf.
6.
Penjelasan tentang
definisi istishab
7.
Klasifikasi dari
istishab.
8.
Dalil-dalil yang mendasari
istishab.
9.
Perbedaan pendapat
tentang kehujjahan istishab.
10. Kaidah-kaidah
yang terbentuk dari istishab.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. ‘URF
1.
Pengertian Urf
Secara bahasa “Al-adatu”
terambil dari kata “al-audu” dan “al-muaawadatu” yang berarti
“pengulangan”, Oleh karena itu, secara bahasa al-’adah berarti perbuatan
atau ucapan serta lainnya yang dilakukan berulang-ulang sehingga mudah untuk
dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan.
Menurut jumhur ulama, batasan
minimal sesuatu itu bisa dikatakan sebagai sebuah ‘adah adalah kalau
dilakukan selama tiga kali secara berurutan. Jadi arti kaidah ini secara bahasa
adalah sebuah adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran untuk memutuskan
perkara perselisisihan antar manusia.
2.
Perbedaan antara Al-‘Adah dengan Al-‘Urf
Kata ‘urf dalam bahasa
Indonesia sering disinonimkan dengan ‘adat kebiasaan namun para ulama membahas
kedua kata ini dengan panjang lebar, ringkasnya: AI-’Urf adalah sesuatu
yang diterima oleh tabiat dan akal sehat manusia.
(Arabic)
Adat adalah
sesuatu yang dilakukan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional.
(Arabic)
Urf adalah
sesuatu yang telah menjadi kebiasaan dan diterima oleh tabiat yang baik serta telah dilakukan oleh penduduk
sekitar Islam dengan ketentuan tidak bertentangan dengan nash syara.
Meskipun arti kedua kata ini agak berbeda namun kalau kita lihat
dengan jeli, sebenarnya keduanya adalah dua kalimat yang apabila bergabung akan
berbeda arti namun bila berpisah maka artinya sama.
Dari keterangan di atas dapat
disimpulkan bahwa makna kaidah ini menurut istilah para ulama adalah bahwa
sebuah adat kebiasaan dan urf itu bisa dijadikan sebuah sandaran
untuk menetapkan hukum syar’i apabila tidak terdapat nash syar’i atau lafadh
shorih (tegas) yang bertentangan dengannya.
Perbandingan antara ’Urf dengan
’Adah dapat dilihat dari beberapa hal sebagai berikut :
’Urf
|
’Adah
|
Adat memiliki makna yang lebih
sempit
|
Adat memiliki cakupan makna
yang lebih luas
|
Terdiri dari ‘urf shahih dan
fasid
|
Adat tanpa melihat apakah baik
atau buruk
|
‘Urf merupakan kebiasaan orang banyak
|
Adat mencakup kebiasaan pribadi
|
Adat juga muncul dari sebab
alami
|
|
Adat juga bisa muncul dari hawa
nafsu dan kerusakan akhlak
|
3.
Syarat-syarat ‘Urf
Tidak semua ‘urf bisa dijadikan sandaran hukum. Akan tetapi,
harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
a. ’Urf itu berlaku umum. Artinya, ‘urf
itu dipahami oleh semua lapisan masyarakat, baik di semua daerah
maupun pada daerah tertentu. Oleh karena itu, kalau hanya merupakan ‘urf orang-orang
tententu saja, tidak bisa dijadikan sebagai sebuah sandaran hukum.
b. Tidak bertentangan dengan nash syar’i. Yaitu ‘Urf yang selaras
dengan nash syar’i. ‘Urf ini harus dikerjakan, namun bukan karena
dia itu ’urf, akan tetapi karena dalil tersebut. Misalnya:
‘Urf di masyarakat bahwa seorang suami
harus memberikan tempat tinggal untuk istrinya. ‘Urf semacam ini berlaku
dan harus dikerjakan, karena Allah Azza wa Jalla berfirman:
(QS. athTholaq [65]:6). tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu
bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka
untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah
ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga
mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka
berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala
sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya.
c. ‘Urf itu sudah berlaku sejak
lama, bukan sebuah ‘urf baru yang barusan terjadi.
d. Tidak berbenturan dengan tashrih. Jika sebuah‘urf berbenturan
dengan tashrih (ketegasan seseorang dalam sebuah masalah), maka ‘urf itu
tidak berlaku. Misalnya:
Kalau seseorang bekerja di sebuah kantor dengan gaji bulanan Rp. 500.000,-
tapi pemilik kantor tersebut mengatakan bahwa gaji ini kalau masuk setiap hari
termasuk hari Ahad dan hari libur, maka wajib bagi pekerja tersebut untuk masuk
Setiap hari maskipun ‘urf masyarakat memberlakukan hari Ahad libur.
e. 5.
‘Urf tidak berlaku atas sesuatu yang telah disepakati
Hal ini sangatlah penting karena bila ada ’urf yang bertentangan
dengan apa yang telah disepakati oleh para ulama (dalam hal ini ’Ijma)
maka’urf menjadi tidak berlaku, terlebih bila’urf nya
bertentangan dengan dalil syar’i.
4.
Klasifikasi ‘Urf
a.
Klasifikasi ‘Urf
ditinjau berdasarkan ruang lingkupnya, yaitu:
1. ‘Urf ‘am (umum). Yaitu ‘urf yang berlaku
di seluruh negeri muslim, sejak zaman dahulu sampai saat ini. Para ulama
sepakat bawa ‘urf umum ini bisa dijadikan sandaran hukum.
2.
‘Urf
khosh (khusus). Yaitu sebuah ‘urf
yang hanya berlaku di sebuah daerah dan tidak berlaku pada daerah lainnya. ‘Urf
ini diperselisihkan oleh para ulama apakah boleh dijadikan sandaran hukum
ataukah tidak.
b.
Klasifikasi ‘Urf
ditinjau berdasarkan objeknya, yaitu:
1.
‘Urf Lafzhy (ucapan). Yaitu sebuah kata yang dalam masyarakat tententu dipahami bersama
dengan makna tertentu, bukan makna lainnya.‘Urf ini kalau berlaku umum
di seluruh negeni muslim ataupun beberapa daerah saja maka bisa dijadikan
sandaran hukum.
2.
‘Urf Amali (perbuatan). Yaitu Sebuah penbuatan yang sudah menjadi‘urf dan kebiasaan masyanakat tertentu.
Ini juga bisa dijadikan sandaran hukum meskipun tidak sekuat‘urf lafzhy.
c.
Klasifikasi ‘Urf
ditinjau berdasarkan diterima atau tidaknya, yaitu:
1.
‘Urf shahih ialah‘urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan
dengan syara’.
2.
‘Urf bathil ialah‘urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena
bertentangan dengan syara’.
5.
Kehujjahan ‘Urf
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang
kehujjahan ‘urf, dapat diuraikan sebagai berikut :
a.
Golongan Hanafiyah
dan Malikiyah berpendapat bahwa 'urf
adalah hujah untuk menetapkan hukum.
b.
Golongan Syafi‟iyyah
dan Hanbaliyah, keduanya tidak menganggap urf sebagai hujah
atau dalil hukum syar‟i. Mereka beralasan, ketika ayat ayat Alqur‟an turun,
banyak sekali ayat yang mengukuhkan kebiasaan yang terdapat di tengah-tengah
masyarakat.
6.
Kaidah-kaidah Fiqhiyyah ‘Urf
Para ulama merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang
berkaitan dengan ‘urf sebagai berikut :
a.
Adat kebiasaan itu bisa menjadi
hukum
(Arabic)
b.
Tidak diingkari perubahan hukum
disebabkan perubahan zaman dan tempat
(Arabic)
c.
Yang baik itu menjadi urf
sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat
(Arabic)
d.
Yang ditetapkan dengan urf sama
dengan yang ditetapkan dengan nash.
(Arabic)
Secara garis besar, ‘urf dapat
disimpulkan sebagai berikut :
(Maaf, tidak bisa ditampilkan)
B. ISTISHAB
1.
Pengertian Istishab
Secara Etimologi
Istishab secara etimologi adalah isim masdar dari istashhaba
yastashhibu istishhaban diambil dari “استفعال من الصّحبة ” yang berarti thalab as-shuhbah atau mencari hubungan atau
adanya saling keterkaitan.
Sedangkan istishhab secara terminologi :
Ibnu Qoyyim Aj-Jauziy mengistilahkan
:
استدامة
اثبات ما كان ثابتا او نفي ما كان منفيّا
“Tetapnya sebuah ketentuan yang sebelumnya sudah menjadi
suatu ketentuan atau tetapnya sebuah
larangan yang sebelumnya sudah menjadi larangan.”
Imam Asy-Syaukani mengistilahkan :
الاستصحاب
هو بقاء الامر ما لم يوجد ما يغيّره
“Tetapnya sesuatu perkara selama tidak
ada dalil yang merubahnya.” Istilah ini bisa dipahami dengan makna : apa yang
sudah ditetapkan pada masa lalu pada dasarnya merupakan sebagai sebuah
ketetapan pula pada masa yang akan datang.”
Jadi
dari pengertian di atas, istishab adalah menjadikan hukum suatu peristiwa yang
telah ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada
dalil yang mengubah ketentuan hukum itu.
Contonya,
seorang yang telah yakin bahwa adia telah berwudhu, dianggap tetap berwudhu
selama tiada bukti yang membatalkan wudhunya keraguan atas was-wasnya tidak
membatalkan wudhu tersebut.
2.
Pengertian Istishab
Menurut
Muhammad Abu Zahroh, beliau membagi Istishhab menjadi 4 bagian :
a.
Istishhab al-Bara`ah al-Ashliyyah dapat dipahami dengan
contoh sebagai berikut :
Seperti tidak adanya kewajiban
melaksanakan syari’at bagi manusia, sehingga ada dalil yang menunjukan dia
wajib melaksanakan kewajiban tersebut. Maka apabila dia masih kecil maka
dalilnya adalah ketika dia sudah baligh. (Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Dar
Al-Fikr Al-’Arabi, Kairo.)
b.
Ishtishhab ma dalla asy-Syar’i au al-’Aqli ‘ala Wujudih bisa
dipahami yaitu bahwa nash menetapkan suatu hukum dan akal pun membenarkan
(menguatkan ) sehingga ada dalil yang menghilangkan hukum tersebut.
Seperti dalam contoh : seperti dalam
pernikahan bahwa pernikahan itu akan tetap sah ketika belum ada dalil yang
menunjukan telah berpisah seperti dengan men-talaq.
c.
Istishhab al-hukmi bisa dipahami apabila hukum itu
menunjukan pada dua pilihan yaitu boleh atau dilarang, maka itu tetap di
bolehkan sehingga ada dalil yang mengharamkan dari perkara yang diperbolehkan
tersebut, begitu juga sebaliknya. Seperti dalam sebuah ayat Allah Swt,
berfirman : ” Dia-lah yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu…” ( QS.
02:29 )
d.
Istishhab al-Washfi dipahami dengan menetapkan sifat asal
pada sesuatu, seperti tetapnya sifat hidup bagi orang hilang sehingga ada dalil
yang menunjukan bahwa dia telah meninggal, dan tetapnya sifat suci bagi air
selama belum ada najis yang merubahnya baik itu warna,rasa atau baunya.
3.
Kehujjahan Istishab
Para
ahli ushul terbagi menjadi beberapa madzhab madzhab :
a. Jumhur diantaranya : malikiyyah,
hanabilah, sebagian besar syafi’iyyah, dan sebagian hanafiyyah. Berpendapat
bahwa istishhab sebagai hujjah secara mutlaq baik itu nafyi atau itsbat.
b. Sebagian syafi’iyyah, sebagian besar
hanabilah dan mutakallimin seperti husein al-Bishri. Mereka berpendapat bahwa
istishhab bukan hujjah secara mutlak baik itu dalam nafyi atau itsbat. (Dr.
Muhammad Bakar Ismail, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah baina Al-Ashalah wa At-Taujih,
Dar Al-Manar, Kairo, 1997.)
c. Para pengikut hanafiyyah al-mu’ashir
mereka berpendapat : bahwa istishhab sebagai hujjah liddaf’I la lil itsbat.
d. Al-Baqalani berpendapat bahwa
istishhab itu hujjah bagi mujtahid akan tetapi tidak boleh digunakan dalam
perkara yang di perdebatkan.
e. Abu Ishaq menukil dari Imam Syafi’I
berpendapat bahwa istishhab hanya boleh dijadikan sebagai penguat dari dalil saja
tidak untuk yang lainnya.
f. Abu manshur al-Bagdadi dari sebagian
syafi’iyyah berpendapat bahwa mustashhib jika tujuannya melarang apa yang
sebenarnya telah dilarang maka itu boleh, akan tetapi bila tujuannya itsbat
berbeda dengan pandangan orang yang memungkinkan menggunakan istihhab al-hal
dalam melarang maka apa yang di itsbatkannya itu tidak sah ( salah ).
4.
Kaidah-kaidah dari
Istishab
a. Al-Ashlu fi asy ya’ al-ibahat
(الأصل فى الأشياء الاباحة)
Dalam firman Allah : Dialah Allah, yang menjadikan segala
yang ada di bumi untuk kamu. Maka bisa di ambil sebuah kesimpulan bahwa setiap
apa yang ada di muka ini pada asalnya adalah boleh selama tidak ada dalil yang
melarangnya.(QS. Al-Baqarah : 29)
b. Al-Ashlu baqai ma kaana ‘ala makan (الأصل بقاء ماكان على ماكان)
Dalam Firman Allah Swt. : dan Kami turunkan dari langit air yang sangat bersih.
Dalam sabda Nabi Saw. “sesunnguhnya air itu suci”
Dalam Firman Allah Swt. : dan Kami turunkan dari langit air yang sangat bersih.
Dalam sabda Nabi Saw. “sesunnguhnya air itu suci”
Air selamanya adalah suci dan mensucikan selama belum ada
yang merubah hakikat air tersebut.
c. Al-yaqiyn la yazulu bisy syak (اليقين لا يزول بالشك)
Dari Abi Hurairah Rasulullah Saw. Bersabda : Apabila salah seorang diantara kamu merasakan sesuatu diperutnya maka dia ragu apakah keluar sesuatu atau tidak, maka janganlah keluar meninggalkan mesjid sehingga terdengar suara, atau keluar angin. ( HR. Muslim )
Dari Abi Hurairah Rasulullah Saw. Bersabda : Apabila salah seorang diantara kamu merasakan sesuatu diperutnya maka dia ragu apakah keluar sesuatu atau tidak, maka janganlah keluar meninggalkan mesjid sehingga terdengar suara, atau keluar angin. ( HR. Muslim )
d. Al-ashlu biraa-ah dammah( الأصل براءة الذمّة)
Seseorang mengadu bahwa fulan memiliki hutang kepadanya, kemudian fulan mengingkari pengaduan tersebut, yang mengadu tidak bisa membuktikan bahwa fulan itu memiliki hutang kepadanya, maka fulan tersebut terbebas dari hutang.
Seseorang mengadu bahwa fulan memiliki hutang kepadanya, kemudian fulan mengingkari pengaduan tersebut, yang mengadu tidak bisa membuktikan bahwa fulan itu memiliki hutang kepadanya, maka fulan tersebut terbebas dari hutang.
5.
Aplikasi Ulama Fiqh
dengan Istishhab
Ibnu Abi Laila ( 74-148 H)
Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila Al-Anshari seorang
Hakim dan Faqih di Kufah pada masa Umayyah sampai Abasiyah beliau adalah orang
yang berfatwa dengan ra’yu sebelum Abu Hanifah.
Ibnu Qudamah meriwayatkan bahwasanya Abu Laila berkata tidak
ada zakat untuk madu dengan alasan tidak ada dalil yang kuat yang menjelaskan
wajibnya zakat madu. Dari sana kita mengetahuai metode pendekatan yang
dilakukan oleh Abu Laila adalah dengan cara ishtishhab yaitu al-Bara`ah
al-Ashliyah ( pada asalnya tidak ada hukum ) dalam menetapkan menentukan suatu
hukum maka selama tidak ada dalil shahih yang menerangkan wajibnya zakat maka
pada madu itu tetep tidak ada wajib zakat.
Abu Hanifah ( 81-150 H )
Imam al-Kurkhi dan al-Sarkhosy mengatakan bahwa Abu Hanifah
dan pengikutnya ( hanafiyah ) menjadikan sebuah qo’idah sebagai rujukan yaitu ”
ma Tsabata bi al-Yaqin la Yazulu bi asy-Syak “ Suatu yang ditetepkan dengan
yakin tidak bisa hilang dengan suatu yang dirugukan.
Seperti yang diriwayatkan dari al-Kurdi : dikisahkan salah
seorang datang kepada Abu Hanifah kemudian dia bertanya kepada Abu Hanifah :
aku tidak tahu apakah aku sudah menolak istriku atau tidak ? maka Abu Hanifah
menjawab : kamu tidak men-talaq istri kamu sehingga, kamu benar-benar yakin telah
men-talaqnya.
Dan imam As-Sarkhosy meriwayatkan bahwa imam Abu Hanifah
berkata : barang siapa yang ragu apakah dia berhadats maka dia memiliki
wudhunya dan apabila ragu apakah punya wudlu atau tidak maka dia adalah
berhadats. Dari kedua contoh diatas menunjukan bahwa imam Abu Hanifah
mengamalkan kaidah al-Yakin la Yu’aridlu bi as-Syak yang merupakan salah satu
kaidah yang selaras dengan methode istishhab. (Dr. Quthub Mushtafa Sanu, Mu’jam
Musthalahat Ushul Fiqh, Dar al-Fiqr al-Mu’ashir, Beirut, 2002.)
Imam Malik ( 93-179 H )
Dalam kitab al-Mudawwanah dituliskan : imam Malik berkata ”
tidak boleh dibagikan harta warisan orang yang hilang sehingga ada kabar
tentang kematiannya atau setelah mencapai masa yang tidak mungkin dia masih
hidup, maka harta warisan itu dibagikan hari itu yang jadi ditetapkannya bahwa
dia sudah meninggal.
Dan imam Malik meriwayatkan sebuah hadits Rasulullah Saw. :
barang siapa ragu dalam jumlah raka’at shalat maka dia harus menetapkan dengan
yakin yaitu mengambil yang sedikit.
Akan tetapi kita mendapatkan bahwa imam Malik dalam beberapa
masalah beliau berfatwa berbeda dari apa yang telah di tetapkannya dengan
methode istishhab yaitu mengambil yang lebih kecil (sedikit ).
Imam Sahnun meriwayatkan : aku bertanya ” kalau ada suami
yang men-talaq istrinya kemudian dia tidak tahu apakah dia men-talaqnya yang
pertama, kedua atau ketiga.Bagaimanakah pendapat malik ? imam Malik menjawab :
tidak halal baginya sehingga ada orang lain yang menikahinya terlebih dahulu.
Dan pendapat ini bertentangan dengan pendapat jumhur yang mengambil yang lebih
kecil.
Imam Asy-Syafi’i ( 150-204 H )
Imam asy-Syafi’I pernah mengamalkan ishtishhab yaitu beliau
pernah berkata : apabila seseorang melakukan perjalanan dan dia membawa air
maka dia ragu apakah sudah ada najis yang tercambur dengan air tersebut dengan
tidak yakin, maka air itu tetap dalam kesuciannya. Dia boleh berwudhu dan minum
dari air tersebut sehingga dia yakin ada najis yang sudah bercampur dengan air
tersebut. Dan imam asy-Syafi’I pernah berkata : kalau seseorang ragu apakah
keluar mani atau tidak? Maka dia tidak wajib mandi sehingga dia yakin, akan
tetapi dalam menjaga kehati-hatian dianjurkan mandi. (Dr. As’ad Abdul Ghani
as-Sayyid al-Kafrawi, al-Istidlal ‘inda al-Ushulliyyin, Dar As-Salam, Kairo,
2005.)
Secara garis besar, istishab dapat dicermati dari bagan
berikut ini :
(Maaf tidak bisa ditampilkan)
BAB
III
PENUTUP
Karakteristik hukum Islam adalah syumul (universal) dan waqiyah
(kontekstual) karena dalam sejarah perkembangan -penetapan-nya sangat
memperhatikan tradisi, kondisi (sosiokultural), dan tempat masyarakat sebagai
objek (khitab), dan sekaligus subjek (pelaku, pelaksana) hukum. Perjalanan
selanjutnya, para Imam Mujtahid dalam menerapkan atau menetapkan suatu
ketentuan hukum (fiqh) juga tidak mengesampingkan perhatiannya terhadap
tradisi, kondisi, dan kultural setempat.
Tradisi, kondisi (kultur sosial), dan tempat merupakan faktor-faktor yang
tidak dapat dipisahkan dari manusia (masyarakat). Oleh karenanya, perhatian dan
respon terhadap tiga unsur tersebut merupakan keniscayaan. Sehingga dengan metode-metode dalam penggalian hukum fikih
ushl fiqh sangat
diharapkan berbagai macam problematika kehidupan dapat dipecahkan yang
diantaranya adalah dengan al-’urf maupun istishab.
Demikianlah
sedikit ulasan mengenai ‘urf dan istishab mulai dari pengertian, dalil-dalil
dan hal yang melatarbelakangi sehingga dijadikan sebagai bagaian dari metode
pembentukan hukum, sampai dengan kehujjahannya menurut pendapat beberapa ulama
fiqih -fuqaha’-.
Penyusun
menyadari betul dalam penulisan makalah ini belum mampu menjelaskan secara ditail
baik karena keterbatasan dalam menuangkan ke dalam sebuah tulisan maupun karena
luasnya pembahasan ‘urf dan istishab itu sendiri. Saran demi kebaikan senantiasa kita nantikan untuk
menciptakan sebuah karya yang lebih baik.
Wa Allahu almuwafiq ila aqwamit atthariq, wa alafwu
minkum.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Zuhaily, Wahbah.
1424 H/2004 M. Ushul Fiqh al-Islamy. Beirut: Dar el- Fikr al-Mu’ashir.
Haq, Abdul, dkk (Kaki Lima). 2006. Formulasi Nalar
Fiqh : Telaah Kaidah Fiqh Konseptual. Surabaya: Khalista.
Jum’at, ‘Imad Ali. 1429 H. Ushul Fiqh Al-Muyassar
(Silsilah Ilmu Ushul Fiqh).
Khalaf, Abdul Wahab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang:
Dina Utama (Toha Putra Group.
Suhartini, Andewi. 2012. Modul Ushul Fiqh (Dual
Mode System). Jakarta: Dirjenpendis Kemenag RI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar