Minggu, 12 Mei 2013

Makalah Ushul Fiqh - 'Urf dan Istishab

BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Konsep bahwa Islam sebagai agama wahyu yang mempunyai doktrin-doktrin ajaran tertentu yang harus diimani, juga tidak melepaskan perhatiannya terhadap kondisi masyarakat tertentu. Kearifan lokal (hukum) Islam tersebut ditunjukkan dengan beberapa ketentuan hukum dalam al-Qur’an yang merupakan pelestarian terhadap tradisi masyarakat pra-Islam.
Islam sangat memperhatikan tradisi dan konvensi masyarakat untuk dijadikan sumber bagi jurisprudensi hukum Islam dengan penyempurnaan dan batasan-batasan tertentu. Prinsip demikian terus dijalankan oleh Nabi Muhammad saw. Kebijakan-kebijakan beliau yang berkaitan dengan hukum yang tertuang dalam sunnahnya banyak mencerminkan kearifan beliau terhadap tradisi-tradisi para sahabat atau masyarakat.
Manusia memiliki suatu hal yang esensial yang tidak terdaapat pada hewan, yakni ruh atau jiwa. Ruh dan jiwa dapat dimannifestasikan dengan cara berfikir dan merasa. Hewan memang diyakini mempunyai otak tetapi tidak dimanfaatkan untuk berfikir juga mempunyai organ hati tapi tidak membentuk rasa rohani, hewan berbuat sesuatu hanya mengikuti insting hewaniahnya.
Dengan demikian, jika manusia dipandang dari sisi jasmaniahnya, maka kita akan memasuki lapangan antropologi fisik. Tapi bila manusia dilihat dari aspek rohaniahnya, kita akan menulusuri medan antropologi kebudayaan. Mengapa dikatakan antropologi kebudayaan? Sebab, cara berfikir atau cara merasa akan membentuk cara hidup. Cara hidup bisa berwujud pada cara bertindak, cara bergaul, cara berekonomi, cara berorganisasi dan seterusnya.
Dari hal-hal tersebutlah, kiranya kita perlu mengetahui perkembangan-perkembangan sumber hukum islam sebagai pijakan bagi umat muslim dalam mengamalkan salah satu metode Ushl Fiqh untuk meng-Istimbath setiap permasalahan dalam kehidupan ini.

B.       RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini penyusun berharap mampu menjawab beberapa masalah fundamental dari pokok bahasan Urf dan Istishab sebagai berikut :
1.         Penjelasan tentang definisi ‘urf maupun adat dari berbagai sudut pandang.
2.         Mekanisme penyerapan ‘urf menjadi bagian dari sumber hukum islam.
3.         Kedudukan ‘urf sebagai bagian dari sumber hukum islam (kehujjahan ‘urf).
4.         Pembagian / klasifikasi ‘urf
5.         Kaidah-kaidah yang terbentuk dari ‘urf.
6.         Penjelasan tentang definisi istishab
7.         Klasifikasi dari istishab.
8.         Dalil-dalil yang mendasari istishab.
9.         Perbedaan pendapat tentang kehujjahan istishab.
10.     Kaidah-kaidah yang terbentuk dari istishab.



BAB II
PEMBAHASAN

A.      ‘URF
1.         Pengertian Urf
Secara bahasa “Al-adatu” terambil dari kata “al-audu” dan “al-muaawadatu” yang berarti “pengulangan”, Oleh karena itu, secara bahasa al-’adah berarti perbuatan atau ucapan serta lainnya yang dilakukan berulang-ulang sehingga mudah untuk dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan.
Menurut jumhur ulama, batasan minimal sesuatu itu bisa dikatakan sebagai sebuah ‘adah adalah kalau dilakukan selama tiga kali secara berurutan. Jadi arti kaidah ini secara bahasa adalah sebuah adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran untuk memutuskan perkara perselisisihan antar manusia.
2.         Perbedaan antara Al-‘Adah dengan Al-‘Urf
Kata ‘urf dalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan ‘adat kebiasaan namun para ulama membahas kedua kata ini dengan panjang lebar, ringkasnya: AI-’Urf adalah sesuatu yang diterima oleh tabiat dan akal sehat manusia.
(Arabic)
Adat adalah sesuatu yang dilakukan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional.
(Arabic)
Urf adalah sesuatu yang telah menjadi kebiasaan dan diterima oleh tabiat yang baik serta telah dilakukan oleh penduduk sekitar Islam dengan ketentuan tidak bertentangan dengan nash syara.

Meskipun arti kedua kata ini agak berbeda namun kalau kita lihat dengan jeli, sebenarnya keduanya adalah dua kalimat yang apabila bergabung akan berbeda arti namun bila berpisah maka artinya sama.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa makna kaidah ini menurut istilah para ulama adalah bahwa sebuah adat kebiasaan dan urf itu bisa dijadikan sebuah sandaran untuk menetapkan hukum syar’i apabila tidak terdapat nash syar’i atau lafadh shorih (tegas) yang bertentangan dengannya.

Perbandingan antara ’Urf dengan ’Adah dapat dilihat dari beberapa hal sebagai berikut :
’Urf
’Adah
Adat memiliki makna yang lebih sempit
Adat memiliki cakupan makna yang lebih luas
Terdiri dari ‘urf shahih dan fasid
Adat tanpa melihat apakah baik atau buruk
‘Urf merupakan kebiasaan orang banyak
Adat mencakup kebiasaan pribadi
Adat juga muncul dari sebab alami
Adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak

3.         Syarat-syarat ‘Urf
Tidak semua ‘urf bisa dijadikan sandaran hukum. Akan tetapi, harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
a.     ’Urf  itu berlaku umum. Artinya, ‘urf  itu dipahami oleh semua lapisan masyarakat, baik di semua daerah maupun pada daerah tertentu. Oleh karena itu, kalau hanya merupakan ‘urf orang-orang tententu saja, tidak bisa dijadikan sebagai sebuah sandaran hukum.
b.    Tidak bertentangan dengan nash syar’i. Yaitu ‘Urf yang selaras dengan nash syar’i. ‘Urf  ini harus dikerjakan, namun bukan karena dia itu ’urf, akan tetapi karena dalil tersebut. Misalnya:
‘Urf di masyarakat bahwa seorang suami harus memberikan tempat tinggal untuk istrinya. ‘Urf  semacam ini berlaku dan harus dikerjakan, karena Allah Azza wa Jalla berfirman:
(QS. athTholaq [65]:6). tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.

c.     ‘Urf  itu sudah berlaku sejak lama, bukan sebuah ‘urf baru yang barusan terjadi.
d.    Tidak berbenturan dengan tashrih. Jika sebuah‘urf berbenturan dengan tashrih (ketegasan seseorang dalam sebuah masalah), maka ‘urf itu tidak berlaku. Misalnya:
Kalau seseorang bekerja di sebuah kantor dengan gaji bulanan Rp. 500.000,- tapi pemilik kantor tersebut mengatakan bahwa gaji ini kalau masuk setiap hari termasuk hari Ahad dan hari libur, maka wajib bagi pekerja tersebut untuk masuk Setiap hari maskipun ‘urf masyarakat memberlakukan hari Ahad libur.
e.     5.      ‘Urf  tidak berlaku atas sesuatu yang telah disepakati
Hal ini sangatlah penting karena bila ada ’urf yang bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh para ulama (dalam hal ini ’Ijma) maka’urf menjadi tidak berlaku, terlebih bila’urf nya bertentangan dengan dalil syar’i.
4.         Klasifikasi ‘Urf
a.         Klasifikasi ‘Urf ditinjau berdasarkan ruang lingkupnya, yaitu:
1.    ‘Urf ‘am (umum). Yaitu ‘urf yang berlaku di seluruh negeri muslim, sejak zaman dahulu sampai saat ini. Para ulama sepakat bawa ‘urf umum ini bisa dijadikan sandaran hukum.
2.    ‘Urf  khosh (khusus). Yaitu sebuah ‘urf yang hanya berlaku di sebuah daerah dan tidak berlaku pada daerah lainnya. ‘Urf ini diperselisihkan oleh para ulama apakah boleh dijadikan sandaran hukum ataukah tidak.
b.        Klasifikasi ‘Urf ditinjau berdasarkan objeknya, yaitu:
1.    ‘Urf Lafzhy (ucapan). Yaitu sebuah kata yang dalam masyarakat tententu dipahami bersama dengan makna tertentu, bukan makna lainnya.‘Urf ini kalau berlaku umum di seluruh negeni muslim ataupun beberapa daerah saja maka bisa dijadikan sandaran hukum.
2.    ‘Urf Amali (perbuatan). Yaitu Sebuah penbuatan yang sudah menjadi‘urf dan kebiasaan masyanakat tertentu. Ini juga bisa dijadikan sandaran hukum meskipun tidak sekuat‘urf lafzhy.
c.         Klasifikasi ‘Urf ditinjau berdasarkan diterima atau tidaknya, yaitu:
1.    ‘Urf shahih ialah‘urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara’.
2.    ‘Urf bathil ialah‘urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara’.
5.         Kehujjahan ‘Urf
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kehujjahan ‘urf, dapat diuraikan sebagai berikut :
a.       Golongan  Hanafiyah  dan  Malikiyah  berpendapat bahwa  'urf  adalah hujah untuk menetapkan hukum.
b.      Golongan  Syafi‟iyyah  dan  Hanbaliyah,  keduanya tidak menganggap urf sebagai hujah atau dalil hukum syar‟i. Mereka beralasan, ketika ayat ayat Alqur‟an turun, banyak sekali ayat yang mengukuhkan kebiasaan yang terdapat di tengah-tengah masyarakat.
6.         Kaidah-kaidah Fiqhiyyah ‘Urf
Para ulama merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang berkaitan dengan ‘urf sebagai berikut :
a.         Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum
(Arabic)
b.         Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat
(Arabic)
c.         Yang baik itu menjadi urf sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat
(Arabic)
d.        Yang ditetapkan dengan urf sama dengan yang ditetapkan dengan nash.
(Arabic)
Secara garis besar, ‘urf dapat disimpulkan sebagai berikut :
(Maaf, tidak bisa ditampilkan)


B.       ISTISHAB
1.         Pengertian Istishab
Secara Etimologi
Istishab secara etimologi adalah isim masdar dari istashhaba yastashhibu istishhaban diambil dari “استفعال من الصّحبة ” yang berarti thalab as-shuhbah atau mencari hubungan atau adanya saling keterkaitan.
Sedangkan istishhab secara terminologi :
Ibnu Qoyyim Aj-Jauziy mengistilahkan :
استدامة اثبات ما كان ثابتا او نفي ما كان منفيّا
“Tetapnya sebuah ketentuan yang sebelumnya sudah menjadi suatu ketentuan atau tetapnya sebuah larangan yang sebelumnya sudah menjadi larangan.”

Imam Asy-Syaukani mengistilahkan :
الاستصحاب هو بقاء الامر ما لم يوجد ما يغيّره
 “Tetapnya sesuatu perkara selama tidak ada dalil yang merubahnya.” Istilah ini bisa dipahami dengan makna : apa yang sudah ditetapkan pada masa lalu pada dasarnya merupakan sebagai sebuah ketetapan pula pada masa yang akan datang.”

Jadi dari pengertian di atas, istishab adalah menjadikan hukum suatu peristiwa yang telah ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan hukum itu.
Contonya, seorang yang telah yakin bahwa adia telah berwudhu, dianggap tetap berwudhu selama tiada bukti yang membatalkan wudhunya keraguan atas was-wasnya tidak membatalkan wudhu tersebut.
2.         Pengertian Istishab
Menurut Muhammad Abu Zahroh, beliau membagi Istishhab menjadi 4 bagian :
a.    Istishhab al-Bara`ah al-Ashliyyah dapat dipahami dengan contoh sebagai berikut :
Seperti tidak adanya kewajiban melaksanakan syari’at bagi manusia, sehingga ada dalil yang menunjukan dia wajib melaksanakan kewajiban tersebut. Maka apabila dia masih kecil maka dalilnya adalah ketika dia sudah baligh. (Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Dar Al-Fikr Al-’Arabi, Kairo.)
b.    Ishtishhab ma dalla asy-Syar’i au al-’Aqli ‘ala Wujudih bisa dipahami yaitu bahwa nash menetapkan suatu hukum dan akal pun membenarkan (menguatkan ) sehingga ada dalil yang menghilangkan hukum tersebut.
Seperti dalam contoh : seperti dalam pernikahan bahwa pernikahan itu akan tetap sah ketika belum ada dalil yang menunjukan telah berpisah seperti dengan men-talaq.
c.    Istishhab al-hukmi bisa dipahami apabila hukum itu menunjukan pada dua pilihan yaitu boleh atau dilarang, maka itu tetap di bolehkan sehingga ada dalil yang mengharamkan dari perkara yang diperbolehkan tersebut, begitu juga sebaliknya. Seperti dalam sebuah ayat Allah Swt, berfirman : ” Dia-lah yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu…” ( QS. 02:29 )
d.   Istishhab al-Washfi dipahami dengan menetapkan sifat asal pada sesuatu, seperti tetapnya sifat hidup bagi orang hilang sehingga ada dalil yang menunjukan bahwa dia telah meninggal, dan tetapnya sifat suci bagi air selama belum ada najis yang merubahnya baik itu warna,rasa atau baunya.
3.         Kehujjahan Istishab
Para ahli ushul terbagi menjadi beberapa madzhab madzhab :
a.    Jumhur diantaranya : malikiyyah, hanabilah, sebagian besar syafi’iyyah, dan sebagian hanafiyyah. Berpendapat bahwa istishhab sebagai hujjah secara mutlaq baik itu nafyi atau itsbat.
b.    Sebagian syafi’iyyah, sebagian besar hanabilah dan mutakallimin seperti husein al-Bishri. Mereka berpendapat bahwa istishhab bukan hujjah secara mutlak baik itu dalam nafyi atau itsbat. (Dr. Muhammad Bakar Ismail, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah baina Al-Ashalah wa At-Taujih, Dar Al-Manar, Kairo, 1997.)
c.    Para pengikut hanafiyyah al-mu’ashir mereka berpendapat : bahwa istishhab sebagai hujjah liddaf’I la lil itsbat.
d.   Al-Baqalani berpendapat bahwa istishhab itu hujjah bagi mujtahid akan tetapi tidak boleh digunakan dalam perkara yang di perdebatkan.
e.    Abu Ishaq menukil dari Imam Syafi’I berpendapat bahwa istishhab hanya boleh dijadikan sebagai penguat dari dalil saja tidak untuk yang lainnya.
f.     Abu manshur al-Bagdadi dari sebagian syafi’iyyah berpendapat bahwa mustashhib jika tujuannya melarang apa yang sebenarnya telah dilarang maka itu boleh, akan tetapi bila tujuannya itsbat berbeda dengan pandangan orang yang memungkinkan menggunakan istihhab al-hal dalam melarang maka apa yang di itsbatkannya itu tidak sah ( salah ).
4.         Kaidah-kaidah dari Istishab
a.    Al-Ashlu fi asy ya’ al-ibahat
(الأصل فى الأشياء الاباحة)
Dalam firman Allah : Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu. Maka bisa di ambil sebuah kesimpulan bahwa setiap apa yang ada di muka ini pada asalnya adalah boleh selama tidak ada dalil yang melarangnya.(QS. Al-Baqarah : 29)
b.    Al-Ashlu baqai ma kaana ‘ala makan (الأصل بقاء ماكان على ماكان)
Dalam Firman Allah Swt. : dan Kami turunkan dari langit air yang sangat bersih.
Dalam sabda Nabi Saw. “sesunnguhnya air itu suci”
Air selamanya adalah suci dan mensucikan selama belum ada yang merubah hakikat air tersebut.
c.    Al-yaqiyn la yazulu bisy syak (اليقين لا يزول بالشك)
Dari Abi Hurairah Rasulullah Saw. Bersabda : Apabila salah seorang diantara kamu merasakan sesuatu diperutnya maka dia ragu apakah keluar sesuatu atau tidak, maka janganlah keluar meninggalkan mesjid sehingga terdengar suara, atau keluar angin. ( HR. Muslim )
d.   Al-ashlu biraa-ah dammah( الأصل براءة الذمّة)
Seseorang mengadu bahwa fulan memiliki hutang kepadanya, kemudian fulan mengingkari pengaduan tersebut, yang mengadu tidak bisa membuktikan bahwa fulan itu memiliki hutang kepadanya, maka fulan tersebut terbebas dari hutang.

5.         Aplikasi Ulama Fiqh dengan Istishhab
Ibnu Abi Laila ( 74-148 H)
Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila Al-Anshari seorang Hakim dan Faqih di Kufah pada masa Umayyah sampai Abasiyah beliau adalah orang yang berfatwa dengan ra’yu sebelum Abu Hanifah.
Ibnu Qudamah meriwayatkan bahwasanya Abu Laila berkata tidak ada zakat untuk madu dengan alasan tidak ada dalil yang kuat yang menjelaskan wajibnya zakat madu. Dari sana kita mengetahuai metode pendekatan yang dilakukan oleh Abu Laila adalah dengan cara ishtishhab yaitu al-Bara`ah al-Ashliyah ( pada asalnya tidak ada hukum ) dalam menetapkan menentukan suatu hukum maka selama tidak ada dalil shahih yang menerangkan wajibnya zakat maka pada madu itu tetep tidak ada wajib zakat.
Abu Hanifah ( 81-150 H )
Imam al-Kurkhi dan al-Sarkhosy mengatakan bahwa Abu Hanifah dan pengikutnya ( hanafiyah ) menjadikan sebuah qo’idah sebagai rujukan yaitu ” ma Tsabata bi al-Yaqin la Yazulu bi asy-Syak “ Suatu yang ditetepkan dengan yakin tidak bisa hilang dengan suatu yang dirugukan.
Seperti yang diriwayatkan dari al-Kurdi : dikisahkan salah seorang datang kepada Abu Hanifah kemudian dia bertanya kepada Abu Hanifah : aku tidak tahu apakah aku sudah menolak istriku atau tidak ? maka Abu Hanifah menjawab : kamu tidak men-talaq istri kamu sehingga, kamu benar-benar yakin telah men-talaqnya.
Dan imam As-Sarkhosy meriwayatkan bahwa imam Abu Hanifah berkata : barang siapa yang ragu apakah dia berhadats maka dia memiliki wudhunya dan apabila ragu apakah punya wudlu atau tidak maka dia adalah berhadats. Dari kedua contoh diatas menunjukan bahwa imam Abu Hanifah mengamalkan kaidah al-Yakin la Yu’aridlu bi as-Syak yang merupakan salah satu kaidah yang selaras dengan methode istishhab. (Dr. Quthub Mushtafa Sanu, Mu’jam Musthalahat Ushul Fiqh, Dar al-Fiqr al-Mu’ashir, Beirut, 2002.)
Imam Malik ( 93-179 H )
Dalam kitab al-Mudawwanah dituliskan : imam Malik berkata ” tidak boleh dibagikan harta warisan orang yang hilang sehingga ada kabar tentang kematiannya atau setelah mencapai masa yang tidak mungkin dia masih hidup, maka harta warisan itu dibagikan hari itu yang jadi ditetapkannya bahwa dia sudah meninggal.
Dan imam Malik meriwayatkan sebuah hadits Rasulullah Saw. : barang siapa ragu dalam jumlah raka’at shalat maka dia harus menetapkan dengan yakin yaitu mengambil yang sedikit.
Akan tetapi kita mendapatkan bahwa imam Malik dalam beberapa masalah beliau berfatwa berbeda dari apa yang telah di tetapkannya dengan methode istishhab yaitu mengambil yang lebih kecil (sedikit ).
Imam Sahnun meriwayatkan : aku bertanya ” kalau ada suami yang men-talaq istrinya kemudian dia tidak tahu apakah dia men-talaqnya yang pertama, kedua atau ketiga.Bagaimanakah pendapat malik ? imam Malik menjawab : tidak halal baginya sehingga ada orang lain yang menikahinya terlebih dahulu. Dan pendapat ini bertentangan dengan pendapat jumhur yang mengambil yang lebih kecil.
Imam Asy-Syafi’i ( 150-204 H )
Imam asy-Syafi’I pernah mengamalkan ishtishhab yaitu beliau pernah berkata : apabila seseorang melakukan perjalanan dan dia membawa air maka dia ragu apakah sudah ada najis yang tercambur dengan air tersebut dengan tidak yakin, maka air itu tetap dalam kesuciannya. Dia boleh berwudhu dan minum dari air tersebut sehingga dia yakin ada najis yang sudah bercampur dengan air tersebut. Dan imam asy-Syafi’I pernah berkata : kalau seseorang ragu apakah keluar mani atau tidak? Maka dia tidak wajib mandi sehingga dia yakin, akan tetapi dalam menjaga kehati-hatian dianjurkan mandi. (Dr. As’ad Abdul Ghani as-Sayyid al-Kafrawi, al-Istidlal ‘inda al-Ushulliyyin, Dar As-Salam, Kairo, 2005.)


Secara garis besar, istishab dapat dicermati dari bagan berikut ini :
(Maaf tidak bisa ditampilkan)


BAB III
PENUTUP

Karakteristik hukum Islam adalah syumul (universal) dan waqiyah (kontekstual) karena dalam sejarah perkembangan -penetapan-nya sangat memperhatikan tradisi, kondisi (sosiokultural), dan tempat masyarakat sebagai objek (khitab), dan sekaligus subjek (pelaku, pelaksana) hukum. Perjalanan selanjutnya, para Imam Mujtahid dalam menerapkan atau menetapkan suatu ketentuan hukum (fiqh) juga tidak mengesampingkan perhatiannya terhadap tradisi, kondisi, dan kultural setempat.
Tradisi, kondisi (kultur sosial), dan tempat merupakan faktor-faktor yang tidak dapat dipisahkan dari manusia (masyarakat). Oleh karenanya, perhatian dan respon terhadap tiga unsur tersebut merupakan keniscayaan. Sehingga dengan metode-metode dalam penggalian hukum fikih ushl fiqh sangat diharapkan berbagai macam problematika kehidupan dapat dipecahkan yang diantaranya adalah dengan al-’urf maupun istishab.
Demikianlah sedikit ulasan mengenai ‘urf dan istishab mulai dari pengertian, dalil-dalil dan hal yang melatarbelakangi sehingga dijadikan sebagai bagaian dari metode pembentukan hukum, sampai dengan kehujjahannya menurut pendapat beberapa ulama fiqih -fuqaha’-.
Penyusun menyadari betul dalam penulisan makalah ini belum mampu menjelaskan secara ditail baik karena keterbatasan dalam menuangkan ke dalam sebuah tulisan maupun karena luasnya pembahasan ‘urf dan istishab itu sendiri. Saran demi kebaikan senantiasa kita nantikan untuk menciptakan sebuah karya yang lebih baik.
Wa Allahu almuwafiq ila aqwamit atthariq, wa alafwu minkum.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Zuhaily, Wahbah. 1424 H/2004 M. Ushul Fiqh al-Islamy. Beirut: Dar el- Fikr al-Mu’ashir.
Haq, Abdul, dkk (Kaki Lima). 2006. Formulasi Nalar Fiqh : Telaah Kaidah Fiqh Konseptual. Surabaya: Khalista.
Jum’at, ‘Imad Ali. 1429 H. Ushul Fiqh Al-Muyassar (Silsilah Ilmu Ushul Fiqh).
Khalaf, Abdul Wahab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama (Toha Putra Group.
Suhartini, Andewi. 2012. Modul Ushul Fiqh (Dual Mode System). Jakarta: Dirjenpendis Kemenag RI.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar